Dialog Otomotif: Perang Harga Mobil Murah Itu Bukan Gara-gara China, Tapi Amerika Serikat!

Mengamati perang harga mobil-mobil terutama EV yang makin murah, bisa jadi orang langsung menuding pabrikan China sebagai biang keladinya.

Padahal kalau melihat dari sejarahnya, yang memulai justru dari Amerika Serikat. Bukan soal Trump dan tarifnya, tapi kisahnya justru dimulai dari seabad lalu.

Obrolan soal perang harga murah ini memang jadi salah satu topik yang seru diperbincangkan dalam ‘Dialog Industri Otomotif Nasional‘ yang digelar di ICE BSD City, 31 Juli 2025.

Salah satu pembicara dalam acara tersebut, Yannes Martinus Pasaribu sebagai pengamat otomotif yang juga dosen ITB ini mengungkapkan bahwa kisah perang dagang ini justru sudah ada sejak seabad lalu.

Bukan dongeng semata, kisahnya bermula tahun 1920 silam di Amerika Serikat. Ford memulai dominasinya menjual kendaraan murah yang bikin pemilik kuda beralih.

Menggunakan Ford Model T, Henry Ford bikin banyak pengusaha dan pemilik kuda gigit jari karena bisa-bisanya menjual mobil dengan harga bersaing bahkan lebih murah dari kuda.

Alhasil, kemudahan dan kepraktisan pakai mobil membuat orang beralih. Padahal kalau dilihat-lihat zaman itu, jalanan buat mobil banyak yang belum layak.

Tapi dengan larisnya Ford Model T, perlahan infrastruktur pun mulai mengikuti sehingga orang enggak ragu lagi buat berpindah mode transportasi dari kuda menjadi pakai mobil.

Era mobil Amerika mendominasi di tahun 1950 hingga 1980-an. Saat itu Amerika punya paradigma “bigger is better”. Mobil harus besar dan gagah. Enggak peduli bensinnya boros kayak apa.

Saat itulah pabrikan Eropa mulai melihat kejenuhan di pasar. Mereka menawarkan mobil yang lebih kecil dan lebih utilitarian.

“Mobil Eropa kalau dibandingkan mobil Amerika lebih rasional sebagai alat transportasi, dan pastinya lebih murah,” ungkap Yannes.

Perlahan, brand Eropa seperti VW yang mengandalkan Beetle sebagai mobil murah buat sehari-hari, hingga keluaran Mercedes dan BMW yang punya desain karakter kuat namun tetap rasional mulai menggerogoti pasar mobil Amerika.

Belum sempat mobil Eropa mendominasi, sekitar tahun 1970-an datang lagi pabrikan Jepang dengan segudang value dan tentunya, harga lebih murah.

Sudah gitu, mobil buatan Jepang jadi dapat hati di Amerika Serikat dan Eropa karena datang di saat krisis minyak melanda.

Punya mobil enggak rewel, enak dipakai sehari-hari, sudah gitu irit bensin. Harganya murah pula. Dengan strategi itu, pabrikan Amerika Serikat dan Eropa pun digoyang.

Loncat ke masa kini, ketika pabrikan mobil China datang dengan segudang value baru, sekarang sejarah seperti terulang lagi.

Kali ini, pabrikan Jepang yang digoyang oleh gempuran mobil EV dari China dengan segudang fitur baru dan tentunya, murah.

“Coba deh lihat mobil-mobil China. Ketika masuk itu langsung liat panel LCD besar. Semua touchscreen. Serba digital. Itu yang disukai generasi Z. Beda sama generasi kita yang masih suka liat dashboard analog dan tombol-tombol,” kata Yannes.

Tanpa disadari, kehadiran segala jenis digitalisasi itu justru yang bisa menekan biaya produksi sehingga mobil bisa dijual lebih murah.

“Enggak perlu lagi tuh ada banyak kabel. Enggak perlu tambahan gir buat speedometer, tombol-tombol. Semua cuma perlu layar dan sensor. Itu kan menekan harga produksi,” tambah Yannes.

Jadinya kalau pabrikan-pabrikan Jepang enggak mau kalah dengan perang harga mobil yang makin murah, justru harus mau menekan biaya produksi dengan inovasi seperti digitalisasi itu.

“Jangan harga mobilnya yang dinaikin terus. Masa tiap tahun bisa sampai 7% kenaikan harganya. Apalagi kalau targetnya masyarakat menengah yang kenaikan penghasilan per tahunnya paling sekitar 3%. Jelas makin ngedrop penjualan mobilnya,” tutup Yannes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *