Mobil Listrik Harganya Sudah di Bawah Rp 200 Juta, Bisakah Disebut LCGC?

Agresif memang perang harga di segmen mobil listrik, terutama dengan kedatangan BYD Atto 1 di rentang harga yang enggak sampai Rp 200 juta.

Efeknya banyak merek lain yang lakukan koreksi harga. Paling kelihatan dari Wuling yang langsung pangkas harga untuk unit Air EV dan Binguo EV buat mepet-mepet juga di kisaran Rp 180-190 juta.

Kalau melihat angka segitu, rasa-rasanya jadi kepikiran. Apa sudah layak disebut LCGC?

Ambil saja contoh beberapa LCGC seperti Honda Brio Satya dan Toyota Calya di kisaran Rp 170 jutaan, bahkan Daihatsu Sigra bisa ditebus mulai Rp 140 jutaan.

Tapi ternyata, sekadar harga murah aja enggak bisa jadi patokan sebuah mobil layak disebut LCGC, Sob!

Menurut Resha Kusuma Atmaja, Marketing Planning General Manager PT Toyota Astra Motor, perang harga yang bikin banderol mobil jadi murah enggak otomatis bikin mobil itu jadi LCGC.

“Konsep awalnya LCGC itu kan awalnya dibuat untuk market pengguna roda dua sehingga bisa mampu beli mobil. Jadi syarat LCGC itu bisa naikin market enggak?” ungkapnya dalam acara bertajuk ‘Dialog Industri Otomotif Nasional’ yang digelar di ICE BSD City, 31 Juli 2025.

Masih menurutnya, LCGC itu harusnya jadi mobil pertama dari orang-orang yang naik kelas (dari kendaraan roda dua). Sekarang kalau melihat data di lapangan, pembeli BEV justru datang dari orang yang sudah punya mobil.

Hal ini bisa dilihat dari data bahwa BEV masih mendominasi di daerah sentral perkotaan seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sebagainya.

Namun kiprah BEV murah yang dianggap bakal jadi ancaman buat LCGC tentu belum bisa dilihat kalau unitnya belum berkeliaran di jalan.

“Paling enggak kita tunggu dulu tiga bulan lagi, kalau unitnya sudah ada di jalan. Atau sekalian deh enam bulan sampai awal tahun depan. Kita perhatikan dulu perkembangannya,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *